Sabtu, 10 Januari 2009

WAYAN GARA Amd Kep.

MANTAN KETUA PARISADA KECAMATAN BUKAL KABUPATEN BUOL SULTENG.

Inilah salah satu profil kita bulan ini namanya Wayan Gara Amd.Kep. Bapak ini lahir di Blah Batuh Gianyar 34 tahun yang lalu, sejak menjadi perawat tahun 1991 beliau sudah mengabdikan diri di Kabupaten Buol mengikuti jejak bapaknya yang pindah dari Sulawesi Utara. Banyak kemajuan bidang keagamaan dan kemasyarakatan yang sudah beliau wujudkan untuk membangun, membina dan memasyarakatkan keputusan Parisada yang ada diatasnya. Wayan Gara dikaruniai 2 orang anak dari istri Made Sutarmi Amd Keb, mereka tinggal di Desa Mooyong (ModoII) Kec. Bukal Kab. Buol. Selama masa kepengurusannya sudah berhasil membangun Pura Eka Kahyangan yang megah dan paling megah di seluruh Kabupaten Buol berkat lobi-lobi beliau dengan pemerintah daerah dan partisipasi dan dorongan yang luar biasa dari masyarakat desa Mooyong. Purnam bhawanthu namah swaha………………

Jumat, 09 Januari 2009

HARI RAYA PAGERWESI

SELAMAT HARI RAYA SARASWATI
DAN
PAGERWESI
7 Januari 2009

SEMOGA PIKIRAN BAIK DATANG DARI SELURUH PENJURU DUNIA

VISVANI DEVA SAVITAR
DURITANI PARA SUVA
YAD BADRAN TAN NA A SUVA

Savita pascatat savita purastat

savitottaratat savitadharattat

savita nah suvatu sarvatarti

savita no rasatam dirgham ayuh. (Rgveda.X.36.14)

Dewata dari arah barat, dewata dari arah timur

dewata dari arah utara, dewata dari arah selatan.

Semoga Ia melimpahkan rakmatNya,

semoga Ia mengaruniai kami panjang umur.


Di Bali Perayaan Pagerwesi cukup meriah setelah melakukan pemujaan Leluhur di Merajan masing masing rumah dilanjutkan dengan pemujaan Dewa Siwa di Pura Dalem bersama seluruh keluarga untuk memperoleh Wara Nugraha Ida Hyang Widhi Wasa ( Parama Siwa ).

Jumat, 02 Januari 2009

ORANG BALI

ORANG BALI

Istilah Bali Kuna, Bali Aga, Bali Mula, Bali Kui, Bali Asli….. apakah penjabaran istilah Bali Asli itu sendiri ?

Mari kita dengar penuturan PakPutu Setia soal tersebut;

Istilah Bali Aga muncul ketika Maharesi Markendhya sekitar 158 Masehi di Bali menyebarkan Agama Hindu (sekte Waisnawa) dan beliau lebih suka ke daerah pegunungan dan gunung-gunung dan masyarakat Bali yang tinggal di wilayah pengunungan disebut Bali Aga, karena Aga itu berarti gunung. Seluruh penduduk pulau bali waktu itu disebut juga dengan sebutan Bali Asli, sedangkan penduduk yang dibawa Maharesi Markendhya dari Jawa disebut Bali Jawa.

Bali Mula sebenarnya istilah ini tidak lengkap semestinya adalah Pasek Bali Mula. Istilah ini muncul sekitar tahun 1343 Masehi ketika Kerajaan Bali jatuh ke tangan imperium Majapahit (Hayam Wuruk dan Gajah Mada ), pada masa pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan yang bertahta di Gelgel. Orang-orang Majapahit yang datang ke Bali menganggap sebagai warga kelas satu dan terjadi pemberontakan kecil-kecilan yang ditanggapi oleh pemerintah sebagai bagi-bagi kekuasaan. Tokoh-tokoh Bali Aga diangkat sebagai Pasek dan ikut mengatur pemerintahan, namun agar terjadi perbedaan dalam penyebutannya Pasek yang berasal dari Bali Aga disebut Pasek Bali Mula, sedangkan yang berasal dari Majapahit disebut Pasek Gelgel sesuai dengan pusat pemerintahan di Gelgel.

Sekarang ini penduduk Bali ada dua keturunan, yang satu keturunan masyarakat Bali Asli dan yang satunya keturunan dari Jawa (Majapahit), dengan demikian bahwasannya Bali Aga tidak identik dengan penduduk desa-desa kuno seperti Tenganan atau Trunyan, karena orang Bali Aga ada dimana-mana berbaur dengan keturunan Majapahit.

Rabu, 17 Desember 2008

HARI RAYA

GALUNGAN DAN KUNINGAN

(Moment Pemujaan Leluhur Dan Persaudaraan dengan Kaum Miskin)

Pancaksaramidam stotram yah pathecchivasannidhau, Sivalokamavapnoti Sivena saha modate

Siapapun yang menggulang-ngulang doa ini, tersusun dari lima suku kata”Namah Sivaya” dihadapan Siva, menikmati Kebahagiaan Tertinggi dan Kediaman Abadi.

Suatu rangkaian kalimat yang Indah dan Janji kepada para pemuja Siwa yang selalu berbhakti dan terus menerus dalam pikirannya mengumandangkan OM Nama Sivaya.

Om ano badrah kratawo yanthuvicwatah

Diantara Hari Raya Hindu Galungan adalah hari raya yang paling meriah dirayakan di Pulau Bali dan penduduk Bali yang berpindah ke pulau di seluruh Indonesia yang masih beragama Hindu. Banyak mahasiswa pulang ke daerah asalnya, para pegawai dan pekerja non formal ikut menyemarakkan perayaan Galungan dengan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman. Suatu peristiwa yang terjadi setiap enam bulan sekali pada hari Buda Kliwon wuku Dungulan dengan satu tujuan mereka adalah bertemu dengan sanak saudara untuk bersama-sama memuja para leluhur.

Siapakah yang dikatakan Leluhur ?

Svarga dalam Vayu Purana disebutkan sebagai tempat roh suci para leluhur dan Dewa Yama. Dalam kitab Upanisad dikatakan seseorang yang memiliki kesempurnaan pengetahuan spiritual mencapai Brahman, mereka yang kurang sempurna mencapai Svarga, sedangkan roh bagi yang bodoh menuju kegelapan. Roh orang yang mati bergerak menuju alam atas mengikuti udara di jalan yang didorong oleh Roh Leluhur (Pitara) menuju alam yang abadi. Sesampainya di Svarga, kemudian ia kembali menemukan badan yang lengkap dan bentuknya yang telah disucikan, roh orang yang mati bertemu dengan roh suci para leluhur ibu, bapak, keluarga, anak dan istri. Di sana tidak ada yang kaya dan yang miskin tidak ada yang kuasa dan yang menguasai, tidak ada penyakit, sakit fisik dan mental tidak dikenal. Demikian juga umur tua. Roh yang di rahmati tinggal di Svarga yang ke-tiga, yakni alam leluhur (Pitr atau Pitraloka). Kehidupan roh yang mendapat berkah akan melalui jalan dewata, teristimewa akan menghaap Dewa Yama dan Waruna. Leluhur juga kondisinya berbeda-beda, ada yang lebih tinggi ada yang ditengah dan ada yang rendah, ada yang duluan datang, belakangan semuanya mengenal Dewa Agni. Leluhur yang terlebih dahulu datang akan membuka jalan untuk yang baru meninggal agar segera dapat bergabung dengan mereka. Leluhur datang menghadiri suatu upacara bersama datang dalam jumlah ribuan dengan kendaraan Dewa Indra atau dewata lainnya, mereka menerima persembahan Soma dan duduk di atas rumput (Kusa), persembahan leluhur berbeda dengan persembahan para Dewa. Svarga merupakan pahala dari perbuatan baik, juga pahlawan yang gugur dalam pertempuran, juga bagi mereka yang rajin melakukan latihan pertapaan dengan tekun, diatas segalanya mereka yang suka memberi “dana punya” dengan ikhlas.

Ada beberapa macam svarga yang dinikmati oleh mereka yang melakukan perbuatan baik, diantaranya svarga Dewa Brahma atau Brahmapuri yang letaknya di puncak gunung Mahameru, yang luasnya 14.000 yojana. Sebelah Timur puncak Mahameru terdapat Kahyangan Dewa Indra (Devadhanika), di sebelah Selatan Kahyangan Dewa Yama (Samyamani), sebelah Barat Kahyangan milik Dewa Waruna (Nimlocani), sebelah Utara Kahyangan milik Dewa Kuwera (Vibhavari). Dikatakan ketika matahari tepat di atas Devadhanikapuri saat itu adalah fajar(Daslemah), tepat di atas Samyamanipuri saat itu siang hari(Kalitepet), tepat di atas Nimlocanipuri saat itu matahari tenggelam(Sandikala), tepat di atas Vibhavaripuri pada saat itu tengah malam(Titib I Made, 2003).

Pemujaan Leluhur dan Durgapuja di Bali dan Jawa

Di Bali upacara Sraddha, yakni upacara pensucian Roh sang Raja Gunapriya Dharmapatni, permaisuri raja Dharma Udayana Varmadewa yang memerintah saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Ista Dewata-Nya sebagai Durgamahisasuramardhini, yakni Dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujud seekor kerbau, berarti Durga puja sudah dilakukan pada saat itu.

Di Jawa Tengah Durga puja yang dilakukan di jaman kerajaan Dinasti Sanjaya pada abad IX dalam Candi Prambanan terdapat arca Durgamahesasuramardhini yang lebih dikenal dengan sebutan arca Loro Jonggrang. Wujud seorang wanita dengan tangan 8 yang memegang Cakra, Gada, anak panah, ekor banteng, Sakha, Perisai, Busur, Panah, dan rambut berkepala raksasa Asura. Yang mengambarkan istri raja Balitung. Arca-arca lain seperti arca Siwa Mahadewa, menggambarkan Raja Balitung, arca Siwa Maha Guru, menggambarkan seorang penasehat dan guru dan arca Ganesha menggambarkan anak Raja Balitung. Ini menunjukkan bahwa pemujaan terhadap leluhur yang tercermin di Candi Prambanan dilakukan sejak Rakai Pikatan dan Rakai Balitung berdasarkan “Prasasti Siwargrha” yang berangka tahun 856 C.

Di Jawa Timur upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadewata) disebut mencapai tingkatan “Atmasiddhadevata” dan hal ini kita lihat dari upacara penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu Gayatri di Candi Penataran, Blitar Jawa Timur yang dalam kitab Nagarakrtagama, candi ini disebut Hyang I Palah.

Awal pelaksanaan Galungan

Hari Raya Galungan, yang disebutkan dalam Lontar Purana Bali Dwipa: “Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana bali rajya”.Artinya perayaan hari suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (Purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sebelumnya Upacara Durgapuja belum disebut Galungan, melainkan disebut “atawuri umah anucyaken pitara” yang artinya upacara selamatan rumah dan pensucian roh (leluhur), dalam Prasasti Suradhipa tahun Saka 1037. Istilah Galungan pertama di Bali disebutkan dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Sakti tahun Saka 1055, selain sesajen yang bernama “Tahapan-stri”, persembahan yang ditujukan kepada Dewi Durga Sakti Siwa, karena Dewi Durgalah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa.

Galungan dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarumajaya di Lontar Usana Bali disebut Jayakasunu putra raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka 1246-1250. dinyatakan raja pendek umurnya disebabkan melupakan tradisi untuk merayakan Galungan (yakni Upacara pabhyakalan pada Kala Tiga ning Dungulan). Pada waktu itu Bali diperintah oleh Raja Sri Eka Jaya tahun saka 1103, dan Raja Sri Dhanadi tahun saka 1126 selama dua pemerintahan itu mereka tidak melaksanakan perayaan Galungan.

Ciri khas persembahan kepada Dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupaya penggunaan daging babi yang dilakukan pada penampahan Galungan di Bali adalah tradisi upacara Durgapuja. Penghitungan hari berdasarkan Wewaran maka pada Astawara pada wuku Dungulan, sejak Redite sampai dengan Anggara Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang Kala Tiga, sedang pada hari Buda Kliwon Dungulan adalah Uma, nama lain dari Durga dalam aspek Santa (damai), pada saat ini umat Hindu memohon anugrah-Nya. Selain memuja Tuhan dalam aspek Uma, Durga, atau Siwa Mahadewa, bagi umat Hindu di Bali juga merupakan pemujaan kepada leluhur.

Rangkaian upacara Galungan dari Sugihan Jawa dan Bali sampai Saniscara Umanis wuku Kuningan(Titib I Made, 2003). Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan pada hari Buda Kliwon wuku Pahang(Pegat Uwakan) ditandai dengan pencabutan penjor kemudian dibakar dan abunya ditanam di pekarangan(Dayuh I Nyoman,2003).

Mitologi Galungan di Bali (Indonesia) dan Vijaya Dasami India

Peristiwa yang melatarbelakangi perayaan Galungan di Indonesia (Bali) dengan di India (dan masyarakat India) ada sedikit berbeda;

Mitologi di India mengutarakan Mahisasura adalah raksasa yang hebat, satu demi satu menindas para dewa. Para dewa meminta bantuan kepada Dewi Durga lalu Dewa Durga mengambil wujud dengan tangan sepuluh berisi sepuluh senjata dan membunuh Asura. Dewi Durga bertempur dengan Bhandasura dan kekuatan-kekuatannya selama sembilan hari dan sembilan malam dan menyelesaikan penghancuran dari semua Asura pada senja hari kesepuluh, peristiwa ini dikenal dengan Vijaya Dasami atau hari kemenangan. Di Kena Upanisad dikatakan bahwa Ibu Illahi akan mengalirkan kebijaksanaan kepada Dewa Indra dan dewa-dewa dan berkata bahwa para dewa akan mampu mengalahkan raksasa dengan bantuan kekuatan Tuhan Tertinggi. Di Bali peristiwa yang melatarbelakangi diutarakan secara mitologi seorang raksasa bernama Mayadenawa yang sakti dan suka memakan daging termasuk daging manusia berhasil mengalahkan raja dan rakyat Bali waktu itu memohon agar Dewa Indra menghukum raksasa Mayadenawa karena telah berani mengatakan dirinya Tuhan dan yang layak untuk disembah. Akhirnya Dewa Indra berhasil mengalahkan Mayadenawa dan mulai saat itu kita melaksanakan kemenangan Dharma. Jadi ada kesamaan makna antara Vijaya Dasami di India dengan Galungan/Kuningan di Bali(Indonesia).

Makna Keagungan Hari Raya Galungan Kuningan bagi Kaum Miskin

Pada hari raya Kuningan kita melaksanakan perayaan dengan sarana serba warna kuning, warna kuning dalam tradisi Hindu merupakan lambang kemenangan, kemegahan, dan kejayaan, dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa lama pelaksanaan Hari Raya Galungan Kuningan sama dengan lama pertempuran yang dilakukan Dewi Durga untuk mencapai kejayaan. Para Dewa menjelaskan kekuatan Satwa, Raksasa menjelaskan kekuatan jahat, pada rentang waktu sepuluh hari itu orang membunuh kecenderungan sikap tamak, marah, keakuan, kebencian, dan mencapai pengetahuan Diri atau ”penerangan” melalui Dewi Durga.

Sri Swami Sivananda mengatakan kemenangan Dharma melawan Adharma adalah kemenangan roh atas materi, kemenangan Satwa atas Rajas dan Tamas, kemenangan roh atas pikiran, kemenangan indrya atas badan, kemenangan idealisme atas materialisme, kemenangan kebaikan atas kejahatan, kemenangan kasih dan kebenaran atas kebencian dan kepalsuan, kemenangan pengorbanan diri dan penyangkalan atas keakuan dan kemilikan, kemenangan penekanan atas yang menekan, kemenangan buruh atas kapitalis dan imperialis. Hari raya ini membawa harapan suka cita kepada hati orang miskin dan paling tertekan, dan penurunan kebanggaan dari yang kaya, kekuatan dan terpelajar, dan memberi inspirasi mereka memeluk si miskin, kaum lemah, buta huruf di dalam kasih dan persaudaraan.

Yogyakarta, Sabtu 1 Desember 2007

dr. Putu Melaya. Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana, Kedokteran UGM

Mantan Ketua KMHDI SulSel 1997-1999.

Pengurus Peradah Indonesia Pusat 2006-2009.

Dimuat di Media Hindu Januari 2008

KAJENG KLIWON - SANG TIGA BHUCARI

Dalam setiap penanggalan pertemuan Pancawara (Umanis Pahing Pon Wage Kliwon) dengan Triwara (Pasah Beteng Kajeng) diperingati sebagai hari turunnya para bhuta untuk mencari orang yang tidak melaksanakan dharma agama dan pada hari ini pula para bhuta muncul menilai manusia yang melaksanakan dharma. Rerainan Kajeng kliwon diperingati setiap 15 hari sekali pada saat itu kita menghaturkan segehan Macawarna. Maksud dan tujuan menghaturkan segehan ini merupakan perwujudan bhakti dan sradha kita kepada Hyang Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi Wasa) telah mengembalikan (Somya) Sang Tigabhucari. Berarti kita telah mengembalikan keseimbangan alam niskala dari alam bhuta menjadi alam dewa (penuh sinar), sedangkan sekalanya kita selalu berbuat trikaya parisudha dan niskalanya menyomyakan bhuta menjadi dewa dengan harapan dunia seimbang.

Dyah Maya Kresna rupanya putih kekuning-kuningan menjadi Sang Batur Kalika. Sang Bajradhaksa menjadi bhuta ijo (berwarna hijau/Sang Bhuta Wilis), Sang Bajrangkara menjadi bhuta abang (berwarna merah/Sang Kala Ranta). Itulah yang disebut Durgga Bhucari, Bhuta Bhucari dan Kala Bhucari. Selain Sang Tigabhucari masih ada jenis bhuta yang sering menganggu manusia dalam melaksanakan dharma agamanya. Para bhuta tersebut ada;

I. Berwujud manusia

1. Bake : bertubuh hitam seperti manusia, selalu muncul tengah malam tingal disemak-semak.

2. Bakis-botong : berwujud manusia kate, berkepala gundul, berkulit putih pucat, dia muncul siang hari, tinggal dirumah manusia yang kosong tanpa penghuni.

3. Memedi : seperti manusia berambut merah seperti api, kulit menyala merah, muncul pada waktu tengah hari bertempat tinggal ditegalan kosong.

4. Papengkah : berwujud manusia dengan perut gendut, besar dan buncit. Muncul pada waktu siang dan malam hari tinggal disembarang tempat.

5. Raregek-tunggek : berwujud gadis cantik tetapi punggungnya terbuka tanpa tulang belakang dan tulang iga (di Jawa disebut Sundel Bolong) sehingga isi rongga dadanya dan isi perutnya kelihatan dari belakang. Dia tinggal di semak belukar, di air terjun, dekat danau, sumur, payau, kuburan sering muncul malam hari.

6. Samar : berbentuk manusia tetapi tanpa lekukan pada bibir atas, berdiam di semak-semak, dan muncul sore hari. Biasanya berkumpul menjadi satu keluarga seperti manusia, sehingga sering disebut wong samar dan hidup seperti manusia tetapi tidak dapat dilihat oleh manusia awam. Sewaktu-waktu jika dia berkehendak dilihat oleh manusia dia akan memperlihatkan dirinya dan bergaul dengan manusia. Di Bali mayoritas wong samar ini bertempat tinggal di daerah Pulaki Buleleng. Pada umumnya wong samar ini bersifat baik.

7. Tonya : berwujud manusia tinggi besar, berdiam di pohon yang rindang dan besar. Paling senang diam dipohon beringin, bunut, kepuh, rangdu dan sejenisnya. Tonya ini jarang berkeliaran tidak pernah pergi jauh dari pohon tempat tinggalnya. Sering muncul pada malam hari, jarang siang hari.

II. Berwujud bagian tubuh manusia

1. Kumangmang : hanya terdiri atas kepala saja dengan rambut seperti menyala. Bertempat tinggal dilapangan terbuka, di tegalan, juga di semak-semak. Jalannya mengelinding seperti kelapa terbakar, muncul siang hari juga malam hari.

2. Lawean : berwujud badan manusia tanpa lengan tungkai dan kepala. Bertempat tinggal di semak belukar tetapi sering juga di rumah-rumah penduduk, muncul pada malam hari, kerap juga muncul siang hari.

3. Tangan-tangan : hanya terdiri atas tangan saja. Jalannya terbang melayang diudara. Bertempat tinggal dirumah penduduk, tempat yang kosong atau semak-semak. Muncul pada waktu malam hari kadang siang hari.

4. Enjek-pupu : terdiri atas paha sampai kaki, hanya sebelah tungkai saja tanpa badan. Kalau berjalan injakan tapak kakinya menimbulkan suara atau bunyi yang halus dan berirama, merindingkan bulu roma. Biasanya muncul malam hari, mengitari pekarangan rumah menyusuri tembok, bertempat inggal dirumah yang kosong.

5. Katugtug : terdiri hanya dari lutut ke bawah. Karena suara atau bunyi injakan kakinya yang khas, yakni tug-tug-tug, maka bhuta ini disebut katugtug. Biasanya muncul pada malam hari, tinggal dirumah yang kosong.

III. Berwujud kerangka manusia

Bhuta jenis ini disebut jerangkong yang terdiri dari rangka yang dapat bergerak, terutama malam hari tinggal ditempat rumah yang kosong.

IV. Berwujud binatang

1. Anja-anja : berwujud binatang berkaki empat berkepala seperti raksasa, mata melotot besar dengan mulut lebar bertaring panjang dan berambut terurai.

2. Banaspati-raja : berwujud macan. Sering dari badannya keluar api, sehingga seperti harimau terbakar.

Hanya manusia yang telah melaksanakan dharma dan selalu ingat lan eling ngastiti bhakti ring Dewa Siwa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) badannya tidak bisa dilekati oleh para bhuta-bhuti dan Panca Mahabhuta (Sri Durga Dewi / akasa / timur, Dadari Durga / teja / selatan, Sukri Dewi / bayu / barat, Raji Durga / apah / utara, Dewi Durga / pertiwi / dalam tanah). Kalau manusia kuat dan mampu mengendalikan lima bhuta ini maka mereka akan menjadi sahabat manusia, dan sehatlah manusia. Tetapi kalau manusia mencemari unsur Panca Mahabhuta ini maka dimusuhilah dan krodalah dia menjadi durga menyebabkan manusia menjadi sakit.

Jogyakarta, 20 Oktober 2007

dr. Putu Melaya

RSUD Buol, 8 Nopember 2008

KAWITAN DAN AWAL MULA

SANGAR PEMUJAAN

PURWWAGAMACASANA

MRETAJANA ASWI BHUTYAM

TAPAH TASMIN

Tersebutlah Bhatara Gana juga bertapa di Gunung Wija dan Sang Hyang Kumara bertapa di Gunung Tawungan.

Mani sura narah pagnan

Twatitah yawa bhumince

Kaccite purusah naksye

Ndicam pora jana kaccit

Dengan rupa yang sangat mengerikan antara tanmpak dan tiada Sang Kala pergi ke Jawa mencari mangsanya. Segala yang bisa bernafas dimangsanya, hutan-hutan dimasuki desa-desa dan pondok-pondok didatangi satu persatu. Tidak terbilang banyaknya manusia dimakannya masing-masing mereka tidak tahu kapan mereka akan mati. Kadang mereka mati satu sepuluh bersamaan, baik pada waktu siang atau malam hari. Mereka bersedih dan menyebut Sang Hyang Widhi, benarlah cita-cita mereka apa yang diinginkan Sang Hyang Tunggal turun kedunia dengan menyamar sebagai seorang perempuan tua pikun menghalang halangi Sang Hyang Kala memakan manusia. Kemudian Sang Hyang Tunggal berubah wujud menjadi mahluk berkaki satu tetap menghalangi SH Kala memangsa manusia. Bhatara Kala sangat marah dan diterkamnya berkali-kali mangsanya tetapi ia hanya orang tua berkaki satu bila ditelan kembali berdiri dihadapan SH Kala bagaikan orang yang sedang bermain saja.

Akhirnya manusia mengerti bahwa Ida Sang Hyang Widhi telah memberkati manusia. Sang Kala memohon ampun dihadapan Sang Hyang Bhatara Guru dan Bhatari Uma yang sudah malih rupa berdiri dihadapannya, kemudian dipanggil orang-orang laki-laki dan perempuan bersabda Bhatara Hyang Widhi hai kamu sekalian para manusia jangan kalian melupakan diriKu. Aku adalah asal mula dari semua yang ada. Aku adalah Sang Hyang Gurureka yang menciptakan seisi alam ini. Aku ini dianggap Bhatara Hyang Widhi, dewata dari asal mula kalian semula. Aku ini adalah perwujudan tunggal Hyang Siwa dan Uma-Kala. Aku ini adalah perwujudan Sang Hyang Brahma Wisnu Iswara. Ingatlah kamu sekalian sekarang kamu wajib membuat Sanggar pemujaan asal-usul dirimu yang memakai tiga ruangan, karena asal-usul manusia tidak ada perbedaan sama-sama tercipta dari PancaSiwa, Pancaparamartha dari diriku. Aku adalah utpati, sthiti dan lina kamu sekalian. Jangan kalian lengah akan tata yang maha penting ini terutama kalian harus menyembah semua dari perwujudan, bahwa Aku akan memberi restu karena dalam penjelmaan Aku juga berwujud binatang harap diingat jangan sampai lupa”.

Buol 4 Nopember 2008

dr. Putu Melaya

Rumah Sakit Umum Daerah Buol

Tumpek Landep

TUMPEK LANDEP

Saniscara Kliwon Wuku Landep

Om Swastyasthu

Hari raya bagi umat Hindu merupakan suatu peristiwa yang mempunyai makna penyucian baik dari aspek religius maupun dari aspek spiritual. Aspek-aspek ini biasanya dilakukan dengan perayaan maupun dengan pemujaan. Dalam hari raya Hindu di Indonesia ( Bali ) perayaan hari raya yang dilakukan pemujaan seperti; Siwa Ratri atau malamnya Dewa Siwa, Saraswati, dan dari aspek spiritual hari yang mempunyai dan yang dimaknai sebagai pengasahan mental spiritual salah satunya adalah Tumpek Landep.

Tumpek Landep sebagai rentetan hari raya Saraswati, Pagerwesi, Tumpek Landep, Galungan dan Kuningan bisa kita maknai juga sebagai perbandingan pelaksanaan hari raya yang dilaksanakan di India seperti Navaratri atau Dassera, sebagai Durga, Laksmi, dan Saraswati. Yang setiap aspek dipuja selama tiga hari dan puncak pada hari kesepuluh Vijaya Dasami, yang disimbulkan kemenangan Dharma melawan adharma. Mungkin pendekatan itu bisa kita gunakan. Jadi pada Saraswati kita diberikan pengetahuan, Hari Pagerwesi kita melakukan brata untuk menguatkan mentalitas spiritual, Tumpek Landep mengasah kemampuan spiritual, Galungan dan Kuningan adalah puncak evaluasi yang dimaknai dengan kemenangan Dharma.

Meskipun pelaksanaan setiap hari raya di Indonesia dan di India berbeda itu dikarenakan penggunaan sistem penanggalan dan penetapan hari raya di Indonesia ada yang berdasarkan Sasih, Wuku, Bulan, Tahun Saka, Wewaran atau Surya Chandra Pranawa. Tumpek Landep sebagai hari yang disucikan di Indonesia (Bali) ditetapkan berdasarkan Wuku yang jatuh setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Landep yang bertepatan sebagai Wuku kedua dari 30 wuku yang diawali dengan Banyupinaruh pada hari pertama Wuku Sinta dan setiap putaran wuku diakhiri dengan Saraswati yang jatuh pada Sabtu Umanis wuku Watugunung. Banyupinaruh berarti kita berusaha mendapatkan air yang memberi kita kekuatan lahir dan bathin, sedangkan Saraswati di akhir wuku memberi kita pengetahuan suci. Jadi setiap perputaran wuku ada usaha-usaha yang terus kita pertahankan untuk mendapatkan kesucian dan pengetahuan. Sedangkan Galungan dan Kuningan juga ditetapkan berdasarkan wuku yang jatuh pada wuku Dungulan dan Kuningan sebagai simbul kemenangan Dharma. Pada Tumpek Landep ini dilakukan penyucian lahir bathin, mental spiritual untuk mewujudkan kehidupan yang agamis (religius), hal ini dilakukan dengan pendekatan pemujaan aspek Ista Dewata dalam wujud I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, I Ratu Wayan Tebeng, I Ratu Made Jelawung, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, I Ratu Ketut Petung (Kanda Pat Sari).

Untuk hal pemujaan aspek Ista Dewata ini sudah dilakukan sejak lama walaupun terjadi pembiasan makna dengan munculnya pemujaan pada unsur logam terutama alat-alat yang terbuat dari besi. Umat Hindu banyak melakukan sekarang dan makin marak dilakukan baik kendaraan roda dua dan empat juga terhadap mesin-mesin pabrik yang terbuat dari logam besi. Kata “Landep” yang berarti tajam dimaknai dengan perkakas yang ujungnya runcing, seperti tombak, keris, pisau, yang umumnya pada waktu lampau sering dipakai sebagai alat untuk berperang. Keris sebagai salah satu benda yang memiliki tuah dan biasanya bertuah mendapatkan tempat tersendiri bagi masyarakat Hindu di Indonesia (Jawa dan Bali). Biasanya pada hari ini dilakukan pemujaan dan pensucian benda-benda sakral dan bertuah yang dimiliki oleh keluarga yang dianggap keramat.

Dalam Bhagawadgita untuk pemujaan terhadap Tuhan dikatakan mempunyai beberapa tujuan;

Caturvidha bhajante mam

janah sukrtino arjuna

arto jijnasur arthathi

jnani ca bharatarsabha (Bhagawad Githa, VII.16)

Orang saleh yang menyembah Aku ada empat macam: orang yang mencari kekayaan, orang yang bijaksana, orang yang mencari pengetahuan dan orang yang dalam keadaan susah.

Tesam jnani nityyukta

ekabhaktir visisyate

priyo hi jnanino ‘tyartham

aham sa ca mama priyah (Bhagawad Githa, VII.17)

Diantara ini orang yang bijaksana, yang selalu terus menerus bersatu dengan Hyang Suci,kebaktiannya terpusat hanya ke satu arah adalah yang terbaik. Sebab Aku kasih sekali padanya dan dia kasih padaKu.

Dengan semangat Hindu kekinian pencarian pensucian mental spiritual juga dibarengi dengan mewujudkan aspek Ista Dewata seperti Dewa Iswara, Brahma, Mahadewa, Wisnu, Mahesora, Rudra, Sangkara, Sambu, Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa, ke dalam diri kita sendiri. Pemujaan Ista Dewata dalam wujud Kanda Pat Dewa hari ini kita lakukan dengan harapan agar memperoleh keselamatan, kerahayuan, kedirgayusaan, dan waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Umat Hindu yang belum terbiasa dengan istilah diatas sering mengarahkan pemujaan terhadap Ista Dewata sebagai salah satu ilmu pelepasan di Bali. Sebetulnya tidak, pemujaan pada aspek Dewa apapun kita tujukan mempunyai tujuan yang pertama adalah terbebas dari neraka menuju Yama Loka, dan mencapai Moksa.

Neraka dalam Srimad Bagavatam dikatakan bahwa ada 29 wilayah penderitaan yang harus dialami oleh jiwa. Neraka adalah keadaan mutlak dan pemisahan penuh dari Tuhan, manusia tidak merasakan cahaya dari kasih, kesucian dan kebenaranNYA. Dunia tanpa cahaya – Asurya Loka. Neraka Tamisra (kegelapan) buat jiwa peminta-minta, digambarkan jiwa yang menderita karena terikat oleh tali kematian dan terlempar secara kejam ke tempat yang gelap gulita, tidak ada makanan dan minuman. Andhatamisra (gelap gulita) tempat bagi jiwa yang menipu istri atau suami dimana jiwa kehilangan semua pengertian dan perasaan bagai pohon yang akarnya tercabut. Raurava tempat bagi jiwa yang menggangap kekayaan duniawi sebagai miliknya, penyiksaan oleh ulat beracun yang disebut Rurus. Maharaurava disini jiwa yang menuruti hawa nafsunya disiksa oleh binatang karnivora. Neraka Kumbhipaka dihuni oleh raksasa yang merebus jiwa dalam minyak goreng yang mendidih bagi jiwa yang tidak suka mengampuni. Neraka Kalasutra bagi jiwa yang menghina rang suci (Brahmana) ia ditempatkan permukaan tembaga yang membara dan dipanasi terus menerus. Neraka Asipatravana hutan yang ditumbuhi dedaunan yang tersusun atas keris runcing dan tajam, jiwa dipaksa berlari melintasi hutan dan dikejar oleh seekor binatang. Neraka ini bagi mereka yang melanggar Dharma dan lemah keyakinan agamanya akan dilempar kesini (Sri Suami Sivananda).

Yama Loka merupakan tujuan bagi jiwa, Citragupta pencatat nasib manusia tinggal di kota “Keadilan” ini. Dibangun oleh Visvakarma yang luasnya seribu Yojana (8 ribu mil). Disebutkan para pendosa menempuh jalur selatan tidak dapat melihat kota ini. Gerbang timur para Brahmana, orang-orang suci, pengikut Dewa Siwa, mereka yang membangun tempat peristirahatan, mendengarkan ajaran suci menuju dewan Kebajikan. Gerbang utara mereka yang mempelajari Weda, yang menghormati tamu, pemuja Durga dan Matahari menuju dewan Kebajikan. Gerbang barat mereka yang mengabdikan diri pada Dewa Wisnu dan Laksmi, mereka yang mengulang-ulang Mantra Gayatri, mereka yang memelihara api rumah tangga, mereka yang mengulang-ulang Weda, melakukan Sraddha untuk leluhur, peduli terhadap kesejahteraan semua mahluk menuju dewan Kebijakan. Dari ketiga pintu ini Dewa Yama menyambut mereka disuguhi pasta cendana dan mereka hidup menikmati sebagai manusia utama beberapa jaman (Sri Suami Sivananda).

Om Santhi Santhi Santhi Om

Yogyakarta 24 Nopember 2007

dr. Putu Melaya

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Fakultas Kedokteran, UGM.