Rabu, 17 Desember 2008

HARI RAYA

GALUNGAN DAN KUNINGAN

(Moment Pemujaan Leluhur Dan Persaudaraan dengan Kaum Miskin)

Pancaksaramidam stotram yah pathecchivasannidhau, Sivalokamavapnoti Sivena saha modate

Siapapun yang menggulang-ngulang doa ini, tersusun dari lima suku kata”Namah Sivaya” dihadapan Siva, menikmati Kebahagiaan Tertinggi dan Kediaman Abadi.

Suatu rangkaian kalimat yang Indah dan Janji kepada para pemuja Siwa yang selalu berbhakti dan terus menerus dalam pikirannya mengumandangkan OM Nama Sivaya.

Om ano badrah kratawo yanthuvicwatah

Diantara Hari Raya Hindu Galungan adalah hari raya yang paling meriah dirayakan di Pulau Bali dan penduduk Bali yang berpindah ke pulau di seluruh Indonesia yang masih beragama Hindu. Banyak mahasiswa pulang ke daerah asalnya, para pegawai dan pekerja non formal ikut menyemarakkan perayaan Galungan dengan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman. Suatu peristiwa yang terjadi setiap enam bulan sekali pada hari Buda Kliwon wuku Dungulan dengan satu tujuan mereka adalah bertemu dengan sanak saudara untuk bersama-sama memuja para leluhur.

Siapakah yang dikatakan Leluhur ?

Svarga dalam Vayu Purana disebutkan sebagai tempat roh suci para leluhur dan Dewa Yama. Dalam kitab Upanisad dikatakan seseorang yang memiliki kesempurnaan pengetahuan spiritual mencapai Brahman, mereka yang kurang sempurna mencapai Svarga, sedangkan roh bagi yang bodoh menuju kegelapan. Roh orang yang mati bergerak menuju alam atas mengikuti udara di jalan yang didorong oleh Roh Leluhur (Pitara) menuju alam yang abadi. Sesampainya di Svarga, kemudian ia kembali menemukan badan yang lengkap dan bentuknya yang telah disucikan, roh orang yang mati bertemu dengan roh suci para leluhur ibu, bapak, keluarga, anak dan istri. Di sana tidak ada yang kaya dan yang miskin tidak ada yang kuasa dan yang menguasai, tidak ada penyakit, sakit fisik dan mental tidak dikenal. Demikian juga umur tua. Roh yang di rahmati tinggal di Svarga yang ke-tiga, yakni alam leluhur (Pitr atau Pitraloka). Kehidupan roh yang mendapat berkah akan melalui jalan dewata, teristimewa akan menghaap Dewa Yama dan Waruna. Leluhur juga kondisinya berbeda-beda, ada yang lebih tinggi ada yang ditengah dan ada yang rendah, ada yang duluan datang, belakangan semuanya mengenal Dewa Agni. Leluhur yang terlebih dahulu datang akan membuka jalan untuk yang baru meninggal agar segera dapat bergabung dengan mereka. Leluhur datang menghadiri suatu upacara bersama datang dalam jumlah ribuan dengan kendaraan Dewa Indra atau dewata lainnya, mereka menerima persembahan Soma dan duduk di atas rumput (Kusa), persembahan leluhur berbeda dengan persembahan para Dewa. Svarga merupakan pahala dari perbuatan baik, juga pahlawan yang gugur dalam pertempuran, juga bagi mereka yang rajin melakukan latihan pertapaan dengan tekun, diatas segalanya mereka yang suka memberi “dana punya” dengan ikhlas.

Ada beberapa macam svarga yang dinikmati oleh mereka yang melakukan perbuatan baik, diantaranya svarga Dewa Brahma atau Brahmapuri yang letaknya di puncak gunung Mahameru, yang luasnya 14.000 yojana. Sebelah Timur puncak Mahameru terdapat Kahyangan Dewa Indra (Devadhanika), di sebelah Selatan Kahyangan Dewa Yama (Samyamani), sebelah Barat Kahyangan milik Dewa Waruna (Nimlocani), sebelah Utara Kahyangan milik Dewa Kuwera (Vibhavari). Dikatakan ketika matahari tepat di atas Devadhanikapuri saat itu adalah fajar(Daslemah), tepat di atas Samyamanipuri saat itu siang hari(Kalitepet), tepat di atas Nimlocanipuri saat itu matahari tenggelam(Sandikala), tepat di atas Vibhavaripuri pada saat itu tengah malam(Titib I Made, 2003).

Pemujaan Leluhur dan Durgapuja di Bali dan Jawa

Di Bali upacara Sraddha, yakni upacara pensucian Roh sang Raja Gunapriya Dharmapatni, permaisuri raja Dharma Udayana Varmadewa yang memerintah saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Ista Dewata-Nya sebagai Durgamahisasuramardhini, yakni Dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujud seekor kerbau, berarti Durga puja sudah dilakukan pada saat itu.

Di Jawa Tengah Durga puja yang dilakukan di jaman kerajaan Dinasti Sanjaya pada abad IX dalam Candi Prambanan terdapat arca Durgamahesasuramardhini yang lebih dikenal dengan sebutan arca Loro Jonggrang. Wujud seorang wanita dengan tangan 8 yang memegang Cakra, Gada, anak panah, ekor banteng, Sakha, Perisai, Busur, Panah, dan rambut berkepala raksasa Asura. Yang mengambarkan istri raja Balitung. Arca-arca lain seperti arca Siwa Mahadewa, menggambarkan Raja Balitung, arca Siwa Maha Guru, menggambarkan seorang penasehat dan guru dan arca Ganesha menggambarkan anak Raja Balitung. Ini menunjukkan bahwa pemujaan terhadap leluhur yang tercermin di Candi Prambanan dilakukan sejak Rakai Pikatan dan Rakai Balitung berdasarkan “Prasasti Siwargrha” yang berangka tahun 856 C.

Di Jawa Timur upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadewata) disebut mencapai tingkatan “Atmasiddhadevata” dan hal ini kita lihat dari upacara penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu Gayatri di Candi Penataran, Blitar Jawa Timur yang dalam kitab Nagarakrtagama, candi ini disebut Hyang I Palah.

Awal pelaksanaan Galungan

Hari Raya Galungan, yang disebutkan dalam Lontar Purana Bali Dwipa: “Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana bali rajya”.Artinya perayaan hari suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (Purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sebelumnya Upacara Durgapuja belum disebut Galungan, melainkan disebut “atawuri umah anucyaken pitara” yang artinya upacara selamatan rumah dan pensucian roh (leluhur), dalam Prasasti Suradhipa tahun Saka 1037. Istilah Galungan pertama di Bali disebutkan dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jaya Sakti tahun Saka 1055, selain sesajen yang bernama “Tahapan-stri”, persembahan yang ditujukan kepada Dewi Durga Sakti Siwa, karena Dewi Durgalah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa.

Galungan dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarumajaya di Lontar Usana Bali disebut Jayakasunu putra raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka 1246-1250. dinyatakan raja pendek umurnya disebabkan melupakan tradisi untuk merayakan Galungan (yakni Upacara pabhyakalan pada Kala Tiga ning Dungulan). Pada waktu itu Bali diperintah oleh Raja Sri Eka Jaya tahun saka 1103, dan Raja Sri Dhanadi tahun saka 1126 selama dua pemerintahan itu mereka tidak melaksanakan perayaan Galungan.

Ciri khas persembahan kepada Dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupaya penggunaan daging babi yang dilakukan pada penampahan Galungan di Bali adalah tradisi upacara Durgapuja. Penghitungan hari berdasarkan Wewaran maka pada Astawara pada wuku Dungulan, sejak Redite sampai dengan Anggara Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang Kala Tiga, sedang pada hari Buda Kliwon Dungulan adalah Uma, nama lain dari Durga dalam aspek Santa (damai), pada saat ini umat Hindu memohon anugrah-Nya. Selain memuja Tuhan dalam aspek Uma, Durga, atau Siwa Mahadewa, bagi umat Hindu di Bali juga merupakan pemujaan kepada leluhur.

Rangkaian upacara Galungan dari Sugihan Jawa dan Bali sampai Saniscara Umanis wuku Kuningan(Titib I Made, 2003). Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan pada hari Buda Kliwon wuku Pahang(Pegat Uwakan) ditandai dengan pencabutan penjor kemudian dibakar dan abunya ditanam di pekarangan(Dayuh I Nyoman,2003).

Mitologi Galungan di Bali (Indonesia) dan Vijaya Dasami India

Peristiwa yang melatarbelakangi perayaan Galungan di Indonesia (Bali) dengan di India (dan masyarakat India) ada sedikit berbeda;

Mitologi di India mengutarakan Mahisasura adalah raksasa yang hebat, satu demi satu menindas para dewa. Para dewa meminta bantuan kepada Dewi Durga lalu Dewa Durga mengambil wujud dengan tangan sepuluh berisi sepuluh senjata dan membunuh Asura. Dewi Durga bertempur dengan Bhandasura dan kekuatan-kekuatannya selama sembilan hari dan sembilan malam dan menyelesaikan penghancuran dari semua Asura pada senja hari kesepuluh, peristiwa ini dikenal dengan Vijaya Dasami atau hari kemenangan. Di Kena Upanisad dikatakan bahwa Ibu Illahi akan mengalirkan kebijaksanaan kepada Dewa Indra dan dewa-dewa dan berkata bahwa para dewa akan mampu mengalahkan raksasa dengan bantuan kekuatan Tuhan Tertinggi. Di Bali peristiwa yang melatarbelakangi diutarakan secara mitologi seorang raksasa bernama Mayadenawa yang sakti dan suka memakan daging termasuk daging manusia berhasil mengalahkan raja dan rakyat Bali waktu itu memohon agar Dewa Indra menghukum raksasa Mayadenawa karena telah berani mengatakan dirinya Tuhan dan yang layak untuk disembah. Akhirnya Dewa Indra berhasil mengalahkan Mayadenawa dan mulai saat itu kita melaksanakan kemenangan Dharma. Jadi ada kesamaan makna antara Vijaya Dasami di India dengan Galungan/Kuningan di Bali(Indonesia).

Makna Keagungan Hari Raya Galungan Kuningan bagi Kaum Miskin

Pada hari raya Kuningan kita melaksanakan perayaan dengan sarana serba warna kuning, warna kuning dalam tradisi Hindu merupakan lambang kemenangan, kemegahan, dan kejayaan, dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa lama pelaksanaan Hari Raya Galungan Kuningan sama dengan lama pertempuran yang dilakukan Dewi Durga untuk mencapai kejayaan. Para Dewa menjelaskan kekuatan Satwa, Raksasa menjelaskan kekuatan jahat, pada rentang waktu sepuluh hari itu orang membunuh kecenderungan sikap tamak, marah, keakuan, kebencian, dan mencapai pengetahuan Diri atau ”penerangan” melalui Dewi Durga.

Sri Swami Sivananda mengatakan kemenangan Dharma melawan Adharma adalah kemenangan roh atas materi, kemenangan Satwa atas Rajas dan Tamas, kemenangan roh atas pikiran, kemenangan indrya atas badan, kemenangan idealisme atas materialisme, kemenangan kebaikan atas kejahatan, kemenangan kasih dan kebenaran atas kebencian dan kepalsuan, kemenangan pengorbanan diri dan penyangkalan atas keakuan dan kemilikan, kemenangan penekanan atas yang menekan, kemenangan buruh atas kapitalis dan imperialis. Hari raya ini membawa harapan suka cita kepada hati orang miskin dan paling tertekan, dan penurunan kebanggaan dari yang kaya, kekuatan dan terpelajar, dan memberi inspirasi mereka memeluk si miskin, kaum lemah, buta huruf di dalam kasih dan persaudaraan.

Yogyakarta, Sabtu 1 Desember 2007

dr. Putu Melaya. Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana, Kedokteran UGM

Mantan Ketua KMHDI SulSel 1997-1999.

Pengurus Peradah Indonesia Pusat 2006-2009.

Dimuat di Media Hindu Januari 2008

2 komentar: